Pada suatu hari di negeri Wirata, seorang putri bernama Durgandini duduk
manis di pelataran taman keputren kedaton Wirata. Dia adalah anak dari Prabu
Basukiswara dan kakak dari seorang putra mahkota bernama Durgandana. Durgandini
menundukan kepalanya sambil meratapi nasibnya yang sejak dilahirkan mengidap
penyakit bau amis. Disitu ia mencoba untuk menenangkan diri dari keramaian yang
senantiasa mengganggunya. Dengan ditemani seorang dayang istana ia merenungkan
sesuatu dibenaknya.
Durgandini : Aduh... jagat dewa bathara, mengapa aku terlahir menderita
begini,
Seharusnya aku
tak harus menerima cobaan semacam ini.
Dayang : Gusti putri, hamba mohon ampun... saya hanya bisa mengingatkan
gusti, agar selalu
Sabar dalam menghadapi cobaan
dalam kehidupan ini.
Durgandini : Oh... dayang, aku merasa hidupku didunia ini sungguh tiada
artinya’
Lebih baik aku
mati saja daripada aku menjadi bahan cemoohan rakyat.
Dayang : Gusti putri, hamba mohon untuk bersabar dalam menghadapi hal
semacam ini
Karena ini adalah wujud rasa sayang dewata
terhadap Gusti.
Durgandini : Dayang, sudah kubilang semua ini tak ada manfaatnya...
Untuk apa aku
hidup didunia, kalau hanya aku tetap mendekam disini tanpa rasa tenang
Meskipun aku
adalah anak seorang pemimpin.
Dayang : Gusti, hamba mohon jangan lakukan tindakan nekad semacam bunuh
diri.
Karena yang namanya
orang mati bunuh diri tidak akan masuk surga.
Durgandini : Dayangku tercinta, biarkan tuanmu ini menentukan jalan
hidupnya sendiri.
Jangan pernah
kau perdulikan aku soal ini, karena ini akan menjadi beban dalam hati
Dayang : Lantas, apa yang akan gusti lakukan ?
Durgandini : Aku akan pergi bertapa ke hutan agar semua permintaanku bisa
terkabul.
Dayang : Gusti, tolong... jangan pergi tinggalkan kedaton ini’ nanti hamba
bisa dimarahi.
Durgandini : Dimarahi, aku tak perduli kau akan dimarahi ayahanda prabu...
Yang jelas
tekadku sudah bulat untuk bertapa dihutan agar penyakit ini sirna ditubuhku.
Dayang : Gusti, jangan... gusti.... kembali gusti putri... hamba mohon
kembalilah.
Gusti putri.... gusti
putri...... tolong jangan pergi......
Akhirnya tanpa seizin ayahnya, Durgandini pergi dari kedaton untuk pergi
bertapa ke hutan agar penyakit yang ia derita selama ini bisa sembuh total.
Sementara dayang kedaton yang tak kuasa melihat kepergian tuannya itu hanya
bisa menangis dan memberi doa agar tuannya itu setelah kembali dari hutan dalam
keadaan hidup.
Lalu, Durgandini pun melakukan perjalanan menuju hutan yang lokasinya
berdekatan dengan Air terjun.
Maka disanalah Durgandini melakukan tapa bratanya agar penyakit yang diidapnya
bisa sembuh, dengan langkah pasti ia segera mengenakan busana serba putih untuk
melakukan tapa brata. Kemudian tapa brata sang Durgandini akhirnya dilaksanakan
selama 30 hari tanpa henti. Sampai suatu ketika di hari terakhir ia bertapa ada
seorang Dewa datang ke tempat dimana sang Durgandini berada. Dewa itu bernama Narada,
ia datang kesana atas keprihatinannya terhadap Durgandini yang ingin sembuh
penyakitnya.
Narada : Wahai cucuku, mengapa engkau disini ? dan mengapa kau berbusana
serba putih ?
Lalu apa keinginanmu sehingga
Para Dewa di kahyangan merasa iba padamu.
Durgandini : Oh.... pukulun Narada, hamba mohon supaya apa yang hamba
rasakan kini bisa hilang.
Sudah semenjak
kecil hamba menderita penyakit yang menyiksa ini.
Narada : Penyakit ? jadi kau menderita penyakit... dan kau mau tahu apa obatnya, Durgandini.
Durgandini : Benar pukulun, hamba mohon cari tahu dimana obatnya berada.
Hamba ingin
penyakit ini sembuh dan hamba tak ingin menderita lagi.
Narada : Cucuku Durgandini, obat penyakit yang kau derita sejak lahir ada
di bantaran sungai.
Bukan tumbuhan atau
hewan, melainkan seorang resi yang katanya bisa menyebuhkan penyakit.
Durgandini : Seorang resi ? apa dia bisa menyembuhkanku pukulun Narada ?
Narada : Oh...., tentu saja bisa... dia adalah resi yang ahli pengobatan.
Segala macam penyakit
yang ia obati, niscaya akan sembuh dalam sekejap.
Durgandini : Benarkah ? Syukurlah... akhirnya penyakitku akan segera
sembuh.
Narada : Durgandini, kebetulan resi tersebut sedang ingin menyeberang
sungai.
Tetapi ia tak berani
karena sungainya yang sangat dalam.
Cobalah kau tolong
dia, dia butuh penyeberangan sungai.
Durgandini : Tapi, bagaimana hamba bisa membantunya ?
Narada : Di tepi sungai ada perahu kosong... coba kau gunakan perahu itu,
seberangkan dia sampai ke hilir.
Siapa tahu dia akan
membalas perbuatanmu.
Durgandini : Baiklah kalau begitu, hamba akan melaksanakan apa yang pukulun
sarankan.
Dalam sekejap mata dewa itu menghilang dari hadapannya, langsung saja
Durgandini menghentikan tapa bratanya dan segera menuju sungai untuk membantu
seorang resi yang sedang membutuhkan bantuan penyeberangan sungai. Karena sungainya
cukup dalam untuk diseberangi sendirian, makanya Durgandini menggunakan perahu
nganggur untuk dipakai menyeberangkan resi itu.
Sesampainya di sungai Durgandini menemui resi tersebut dan menanyakan apa
keperluan resi tersebut yang ingin menyeberangi sungai. Dan rupanya saat
Durgandini hendak bertanya, dia malah terdiam melihat wajah resi itu yang cukup
tampan dan gagah. Sehingga rasa suka pun timbul dari hati nurani sang
durgandini, karena orang yang akan ditolongnya ternyata seorang pertapa yang tampan.
Durgandini : Maaf kisanak..., apa
bisa saya bantu ?
Palasara : Oh... rupanya ada orang’ aku kira di sungai ini tidak ada orang.
Aku mau menyeberang kesana untuk
menuju sebuah perkampungan.
Durgandini : Mau menyeberang tuan, mari saya antarkan dengan perahu ini.
Palasara : Hah, memang kau bisa seberangkan aku kesana dengan perahu ini ?
Durgandini : Biarpun saya hanya seorang wanita, tetapi saya adalah
penyeberang disini.
Palasara : Oh... baiklah, aku akan menaiki perahumu.
Kemudian Resi Palasara menaiki perahu yang akan dikemudikan Durgandini
menuju seberang.
Dalam perjalanan menuju seberang, Resi Palasara memandang indahnya
pemandangan alam begitupun saat ia menolehkan wajahnya ke arah Durgandini. Ada
perasaan yang timbul dari pandangan pertama sang Palasara, karena baru kali ini
ia menemui wanita cantik dipinggir sungai yang berprofesi sebagai juru mudi
perahu penyeberangan. Dan munculah keisengan sang resi selama perjalanan berlangsung dengan
berbincang-bincang sambil berbasa-basi.
Palasara : Hmm... siang ini panas sekali, ngomong-omong kau lumayan cantik
juga rupanya.
Durgandini : Hah... jangan begitu ahh... saya jadi malu, padahal saya ini
hanya orang kecil tuan.
Palasara : Kalau engkau memang orang kecil, mengapa wajahmu begitu bersinar
bagai bulan purnama ?
Durgandini : Tuan, hamba bukan siapa-siapa... hamba hanya orang yang hidup
serba susah
Tidak usah tuan
menyanjung-nyanjung saya.
Palasara : Sungguh, aku tak berbohong... kau sungguh cantik dan menawan
tentunya.
Aku mau tahu siapa
namamu, dan asalmu dari mana ?
Durgandini : Saya dari Wirata, nama hamba Durgandini... putri raja
Basukiswara.
Palasara : Oh.... pantas saja, kau memang cantik sekali’ rupanya kau adalah
seorang putri raja besar.
Ngomong-omong
mengapa kau berada disini ? bukankah kau seharusnya berada di kedaton ?
Durgandini : Terus terang saja, saya memiliki kekurangan diantara sekian
banyaknya kekurangan.
saya menderita
penyakit yang sejak lahir, yang telah membuat hamba menderita.
Palasara : Jadi begitu masalahmu, baiklah... aku akan menyembuhkan penyakitmu
tetapi dengan syarat
Kau harus menemaniku
sampai diseberang sana.
Durgandini : Ehm... bagaimana yach ?
baiklah kalau begitu, saya akan melakukannya demi tuan.
Oh... ya, nama
tuan siapa ? saya belum kenal tuan.
Palasara : Namaku Resi Palasara, dari pertapaan Saptaarga.. aku sengaja
ingin pergi ke sana hanya untuk
melayat ke makam
ayahku dan beliau juga seorang Resi, namanya Resi Sakri.
Durgandini : Jadi nama tuan Palasara, dan tuan adalah putra Resi Sakri.
Palasara : Betul, aku memang keturunan Brahmana... ayahku dulu seorang
Brahmana yang sakti mandraguna.
Sayangnya beliau wafat dalam menjalankan tugasnya karena
dibunuh.
Durgandini : Oh... begitu rupanya, saya kira tuan masih punya orang tua.
Tapi ternyata
orang tua tuan sudah meninggal.
Palasara : Sudahlah, jangan banyak bertanya... nanti tak kunjung sampai
perjalanannya.
Durgandini : Baiklah.... Sang Resi, saya tahu apa yang tuan kehendaki.
Kemudian di tengah perjalanan, Durgandini menghentikan laju perahunya dan
segera
meminta agar Resi Palasara mau mengobati penyakitnya sampai sembuh. Akhirnya
sang resi pun mulai menjalankan ritual untuk mengobati penyakit Durgandini. Tak
lama berselang, penyakit yang diderita Durgandini sejak kecil sembuh total
tanpa meninggalkan sesuatu sedikitpun.
Palasara : Durgandini, sekarang coba kau rasakan... apa perasaanmu sesudah
kuobati ?
Durgandini : Duhai sang resi, hamba mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya atas pertolonganmu.
Berkat tuan..
penyakit yang menjangkit tubuh hamba kini hilang sudah.
Palasara : Kau tak perlu begitu padaku, berterima kasihlah pada Yang Maha
Kuasa.
Karena kau sudah
bersabar dalam menghadapi cobaan ini sehingga Dia mau menjawab doamu.
Durgandini : Oh... tuan, bagaimana cara saya membalas budi atas pertolongan
tuan ?
Palasara : Tadi kan sudah kubilang, temani perjalananku sampai keseberang
sana.
Mengapa kau
tiba-tiba lupa perkataanku tadi ?
Durgandini : Maafkan saya tuan, saya terlalu kegirangan menerima kesembuhan
dari pertolongan tuan.
Suasana di tengah-tengah sungai kian sepi, tiba-tiba muncul kabut hitam
melayang diatas permukaan sungai.
Dalam keadaan semacam itu, Durgandini hanya bisa diam terpaku melihat
kegagahan Resi Palasara yang makin lama makin membius hatinya. Begitupun Resi
Palasara, yang juga mulai tertuju pandangan kedua matanya ke arah Durgandini
setelah melihat hal tak terduga. Yaitu rasa cinta yang timbul antara 2 manusia diatas
perahu kecil. Lalu Resi Palasara dengan mesra menanyakan sesuatu kepada
Durgandini, yang dilihatnya hanyalah keindahan wajah dan kemolekan tubuhnya.
Sama dengan Resi Palasara, Durgandini mulai terpikat oleh kekarnya tubuh sang
resi sehingga ia seolah dimabuk kepayang.
Palasara : Durgandini, kok tiba-tiba kabut mulai menutupi jalan perahu yang
kita tumpangi ini ?
Durgandini : Saya juga tak mengerti tuan, entah mengapa suasana jadi sunyi
tak bersuara begini ?
Palasara : Mungkin inilah kesempatan untuk mengungkapkan sesuatu.
Durgandini : Sesuatu apanya ?
Palasara : Ya..... aku sesungguhnya memang suka padamu.
Durgandini : Saya juga begitu tuan, saya juga suka pada tuan.
Palasara : Durgandini... izinkan aku mendekap tubuhmu yang mungil ini, kau
seperti bidadari saja.
Durgandini : Engkau juga sang resi, aku seperti didatangi ksatria tampan
dari kahyangan saja.
Palasara : Bagaimana kalau kita lakukan sekarang ?
Durgandini : Benarkah ? kau mau lakukan itu, baiklah... akan aku layani...
Tapi,
pelan-pelan saja... aku tidak suka terlalu kasar... nanti bisa lecet....
Palasara : Oh,... kau mau yang enak-enak ? baiklah... biar aku lepas dulu
pakaianku ini.
Durgandini : Oh, iya... aku lupa, aku juga merasa gerah... aku mau lepas
juga ahh...
Kau yakin, kau
bisa mengalahkanku ?
Palasara : Tentu saja, biarpun aku belum pengalaman... tetapi aku ini jago
bertarung.
Durgandini : Ehm... baiklah kalau begitu, ayo kita lakukan sekarang....
Palasara : Baik, bersiap-siaplah kau... aku yakin kau pasti akan kutundukan
hari ini juga.
Tanpa ragu-ragu Resi Palasara dan Durgandini melampiaskan rasa cinta antara
mereka berdua dengan melakukan pertarungan birahi. Dalam singkatnya, Resi
Palasara mulai mengeluarkan keperkasaannya dihadapan Durgandini dengan penuh
percaya diri. Durgandini hanya bisa terpukau dengan asmara yang membuat dirinya
lupa diri. Sampai-sampai hal semacam itu harusnya tak lazim terjadi di atas
perahu yang mereka tumpangi bersama. Sampai suatu ketika Durgandini tubuhnya
berkeringat setelah beribu-ribu serangan dilancarkan Resi Palasara
bertubi-tubi.
Durgandini : Ahh... aduh.... jangan kasar-kasar begitu, sakit tahu !
Palasara : Hmm... bagaimana ? apa kau sudah mengetahui kekuatanku ini ?
Durgandini : Ihh.... ehm....
awww....... yeach.... yeach….. rupanya kau mampu membuat aku begini !
Palasara : Sudahlah, jangan
banyak bicara… biar ku lanjutkan sampai ada kata puas diantara kita
Durgandini : Baik… tapi
jangan seperti tadi, sakit tahu !!!!
Pertarungan pun terjadi
semakin menggairahkan, sehingga api didalam jiwa mereka berdua kian lama kian
membara karena berbahan bakarkan cinta yang tertanam. Pertarungan birahi itu berlanjur
hingga salah satu diantara mereka ada yang kelelahan. Dalam keadaan tak
berbusana, mereka saling berciuman dan saling cumbu dengan penuh mesra.
Durgandini : Aku sudah tak mampu lagi, tolong hentikan ini tuan....
Palasara : Baiklah.... cukup sampai disini saja, nanti kita lanjutkan lain
waktu.
Durgandini : Tuan, cepatlah pakai busanamu... nanti kalau tak dipakai nanti
bisa diketahui orang lain.
Palasara : Ya.... sudah, apa lagi kabutnya makin lama makin memudar, lebih
baik kita hentikan ini.
Semenjak saat itu Resi Palasara dan Durgandini menjadi sepasang suami istri
yang rukun dalam kehidupan berumah tangga. Dari hasil percintaan mereka lahir
seorang pemuda gagah yang juga menjadi Resi seperti ayahnya, anak itu bernama
Abiyasa. Dalam perjalanannya, kisah cinta antara Palasara dengan Durgandini
berakhir saat sang resi memutuskan untuk pergi dan tak pernah kembali. Sebelum
sang resi pergi, sang resi sempat merubah Durgandini kembali menjadi perawan
dengan ilmu kesaktiannya.
Palasara : Durgandini, maafkan aku soal ini
Durgandini : Soal apa kakang ?
Palasara : Aku sebenarnya tak ingin hubungan ini diketahui orang, bahwa
saat ini kita sudah punya anak
Durgandini : Lho.. memangnya kenapa ? kan kita harusnya senang karena kita
punya anak
Palasara : Ini bukannya senang, tetapi aku takut nantinya hubungan kita
yang sudah terlanjur jauh ini
Akan tidak disetujui
orang tuamu dan mereka tak mungkin menerimaku sebagai menantu
Durgandini : Benar juga perkataanmu, lalu bagaimana agar hal semacam ini
tak diketahui orang ?
Termasuk ayah
& adikku ?
Palasara : Oh... ya, begini saja... bagaimana kalau kau akan kukembalikan
statusmu menjadi perawan ?
Durgandini : Bagaimana mungkin, aku kan sudah melahirkan dan mana bisa aku
kembali menjadi gadis ?
Palasara : Kau tak usah cemaskan Abiyasa, soal dia biar aku yang
merawatnya.
Durgandini : Jadi, kau akan pergi kakang ? lalu bagaimana denganku setelah
aku berpisah denganmu
Selamanya, dan tak mungkin aku akan
bertemu denganmu lagi ?
Palasara : Jangan takut akan kepergianku ini, setelah kau menjadi perawan
lagi... kau kusarankan untuk
Menikah dengan Raja
Negeri Hastinapura yang bernama Sentanu.
Durgandini : Apa ? kau mau aku menikah dengannya ?
Tidak kakang,
selama ini aku tahu... bahwa dia sudah punya istri yang bernama Gangga
Palasara : Durgandini, sekarang raja Hastinapura itu telah menduda karena
istrinya telah pergi.
Durgandini : Yang benar kakang, apa kau yakin aku akan bahagia bila menikah
dengannya ?
Palasara : Yakinlah, aku sangat yakin bila kau menjadi istrinya dan kelak
kau akan menjadi ratu di Hastina
Juga kau akan
menurunkan raja-raja besar di negeri itu.
Durgandini : Baiklah kakang, kalau ini memang jalan terbaik untuk menutupi
aib ini.
Setelah berbicara dengan Durgandini, Resi Palasara pun segera berkemas
membawa pakaiannya beserta anaknya yang masih bayi itu. Dengan selendang
jingga, Resi Palasara menggendong Abiyasa dengan erat dan segera mengucapkan
mantera suci yang bertujuan untuk merubah kembali Durgandini menjadi perawan
seperti sedia kala. Dengan kekuatan ajaibnya, tubuh Resi Palasara mentransfer
energi positif ke tubuh Durgandini sehingga tubuh istrinya itu kembali sehat
seperti saat sebelum melahirkan.
Palasara : Durgandini, inilah masa-masa terakhir antara kau dan aku.
Semoga kelak di alam
baka kita bisa berjumpa lagi.
Durgandini : Kakang, selamat tinggal... suatu hari nanti di alam keabadian
kita akan bertemu lagi
Tentunya bersama
Abiyasa.....
Kemudian Resi Palasara akhirnya pergi meninggalkan Durgandini dengan
membawa Abiyasa yang masih bayi dan tidak tahu apa-apa soal ini. Yang jelas, jejak hubungan asmara antara mereka berdua tak
akan diketahui siapapun kecuali para dewa yang telah menulis sejarah kisah
cinta secara singkat ini. Kelak dikemudian hari ada beberapa sejarah baru yang
akan terjadi setelah kejadian ini, dimana Durgandini kelak akan menjadi
permaisuri Prabu Sentanu raja Hastinapura dan menurunkan 2 anak laki-laki yang
menjadi raja, yaitu Citranggada dan Wicitrawirya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar