9/26/2020

Komoditas Politik Antah Berantah

Foto : Kelompok PA 212 & GNPF

Tulisan ini sepenuhnya berdasarkan perspektif politik. Ketika kita berbicara tentang Rizieq Shihab, kita berbicara tentang sosok dengan lingkar massa yang fanatik. Dalam politik, kerumunan fanatik adalah komoditas penting. Masalahnya, sosok itu "in absensia", dan ini satu kelemahan dalam kesepakatan politik. Masalahnya lagi, HRS bukan Mandela yang sedang mengalami ketertindasan politik dengan gelembung besar perjuangan mayoritas kulit hitam yang menunggu di luar pintu penjara.

Pasca Gerindra bergabung dengan pemerintah, saat ini HRS dan FPI terjebak dalam rangkaian gerbong yang kecil. Ironisnya, FPI adalah Ormas yang tidak mempunyai organisasi induk - ia hanya bergantung kepada sosok tunggal di dalamnya. Dalam sistim politik kita yang berpetak-petak, tentu ini tidak menguntungkan bagi kompromi politik FPI. 

Itulah mengapa banyak orang yang selama ini berseberangan dengan pemerintah mendesak agar HRS "dipulangkan". Dan untuk itulah kampanye poster HRS itu bertebaran. Tapi apakah kepulangan HRS akan menjadi solusi jitu bagi mereka? Belum tentu. Kelompok yang berseberangan dengan pemerintah adalah non-partisan, seperti halnya FPI, yang biasanya ringkih dalam soliditas politik.

Ayatollah Khomeini dalam Revolusi Iran, tidak bisa juga dijadikan rujukan dalam kasus HRS. Khomeini sebelumnya telah membangun platform yang kuat melalui kanal-kanal politik di Iran. Ia kemudian hadir di Teheran setelah seluruh lanskap politik dikuasai sepenuhnya. Jika saja HRS hadir di Indonesia saat ini, tentunya hanya menghasilkan euforia dikalangan pendukungnya saja. Dalam politik, ia akan sama kedudukannya dengan deklarator KAMI tempo hari.

Kehadiran HRS tidak akan banyak merubah konstelasi politik kita. Justru akan menambah runyam pertarungan kepentingan pada kelompok pinggiran yang melawan pemerintah. Karena pada akhirnya, mereka harus menghadapi realitas politik; berkompromi dengan partai-partai.

Postulat politik yang baku adalah; yang kecil harus bergabung dengan kelompok besar, agar menjadi besar. Karena politik bukan matematika. Kelompok kecil yang bergabung dengan yang kecil, justru tidak menjadi besar - malah makin kecil dan marjinal. 

Karya : Islah Bahrawi 
Ditulis : Joko Lelur Kemul Sarung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar