Gambar : Raden Abimanyu putra Raden Arjuna dengan Dewi Sumbadra
Irawan berkumpul dengan beberapa
putra-putra Pandawa Lima, Irawan langsung menyatu dengan mereka. Irawan
berbaris mengikuti intruksi pimpinan. Waktu itu yang memimpin latihan adalah
Patih Nirbita dari Wirata, Patih Tambakganggeng dari Amarta, Patih Udawa dari
Dwaraka, Patih Drestaketu dari Panchala, Patih Gagakbongkol dari Jodhipati dan
Patih Sucitra dari Madukara.
Irawan berlatih dengan giat mengikuti
apa yang dicontohkan para Patih, sebab persiapan perang harus matang agar
memperoleh kemenangan. Irawan optimis bahwa pihak negeri Wirata akan
memenangkan pertempuran walaupun jumlah prajurit yang relatif sedikit.
Setelah berlatih, Irawan
berbincang-bincang dengan putra-putra Pandawa Lima yang lain. Irawan berbincang
dengan Abimanyu yang merupakan kakak sulungnya. Irawan berharap bisa menjadi
senopati pengampit mendampingi Abimanyu.
Abimanyu sendiri kurang begitu yakin
dengan Irawan, karena Abimanyu menilai ilmu kanuragan Irawan belum setingkat
dengannya. Irawan dengan jumawa bahwa dirinya sebagai cucu seorang brahmana
diyakini mampu menjadi senopati tangguh.
Hari pun berganti menjadi senja,
dimana seluruh punggawa masuk ke dalam tempat istirahatnya masing-masing.
Irawan yang sudah lelah dengan rangkaian latihan fisik akhirnya memutuskan untuk
tidur bersama para putra Pandawa Lima lain. Ketika para putra Pandawa Lima
sudah tertidur, cerita berganti ke ruang perkumpulan dimana para Pandawa dan
Prabu Matswapati bermusyawarah mengenai penunjukkan senopati agung untuk
memimpin pertempuran esok.
Prabu Kresna sebagai pembina pihak
Pandawa Lima mengatakan bahwa untuk menghadapi pertempuran esok hari yang
menjadi pimpinan pasukan adalah Utara dan Wratsangka. Mengingat Resi Seta tidak
boleh diganggu karena sedang bertapa untuk meningkatkan kekuatan fisiknya di
pertapaan Parianom. Semua setuju dengan usulan Prabu Kresna. Maka esok
terjadilah pertempuran di hari pertama antara pasukan dari Wirata yang memihak
para Pandawa Lima melawan pasukan dari Hastina yang memihak para Kurawa.
Utara dan Wratsangka memimpin pasukan
dengan gagah berani, sambil mengendarai kuda mereka mengobrak-abrik pertahanan
musuh tanpa kompromi, Namun, saat sedang sibuk menghabisi para prajurit kecil
yang hanya membawa tombak dan tameng’ Utara dihadang oleh Begawan Durna
sehingga terjadi pertarungan diantara keduanya.
Utara tidak bisa mengalahkan Begawan
Durna yang merupakan guru dari para Pandawa Lima dan seratus Kurawa, kesaktian
pertapa yang lahir di negara Atasangin itu bukanlah tandingan Utara. Maka
dengan mudahnya Begawan Durna mengalahkan Utara hanya dengan melepas anak panah
neraca bala. Utara gugur terkena hujan anak panah yang dilepas oleh Begawan
Durna, kemudian Begawan Durna dilabrak oleh Wratsangka sehingga mundur
gelanggang.
Namun, Prabu Salya datang
menggantikan Begawan Durna untuk melawan kedigdayaan Wratsangka yang sedang
marah melihat saudaranya gugur. Prabu Salya dengan penuh perhitungan
menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Wratsangka, lalu dengan cekatan
Prabu Salya mencengkram tubuh Wratsangka dan membantingnya jatuh. Termakan
emosi Wratsangka mengambil sebilah pedang untuk menyayat tubuh Prabu Salya”
sayangnya keburu terhunus keris yang dilempar oleh Prabu Salya maka gugurlah
ia.
Utara dan Wratsangka gugur, akhirnya
pada hari pertama Bharatayudha’ pihak Pandawa Lima kalah karena kedua
pimpinannya tewas. Akhirnya dari pihak yang kalah memutuskan untuk mencari
pimpinan baru” rupanya atas apa yang diramalkan buku kitab Jitabsara bahwa
pengganti Utara dan Wratsangka adalah Resi Seta sendiri.
Kemudian diutuslah Patih Nirbita
menemui Resi Seta yang sedang bertapa di pertapaan Parianom, sesampainya disana
Patih Nirbita mengabarkan bahwa Utara dan Wratsangka sudah gugur. Mendengar
berita itu, Resi Seta bertekad mencari siapa pembunuh kedua adiknya itu.
Lantas, Patih Nirbita berhasil
memboyong Resi Seta untuk bergabung dengan pasukan Wirata sebagai pimpinan
pasukan tempur. Malam itu, Prabu Kresna melantik Resi Seta sebagai pimpinan,
sedangkan yang menjadi pengampitnya adalah Arjuna dan Werkudara.
Perang hari kedua dimulai, lagi-lagi
pasukan dari pihak Kurawa menurunkan duo petarung handalnya ialah Begawan Durna
dan Prabu Salya. Mereka berdua sudah tahu betul karakter dan kekuatan pasukan
dari pihak Wirata. Tetapi kali ini justru pihak Pandawa Lima yang didukung dari
Wirata lah yang mendominasi serangan. Semua ini karena siasat tempur yang ampuh
berkat kehadiran Resi Seta sebagai pimpinan baru menggantikan Utara dan
Wratsangka. Begawan Durna mulai khawatir dengan menipisnya jumlah wadyabala
Hastina, kemudian seluruh prajurit Hastina tinggal gelanggang dan pertempuran
hari kedua dimenangkan oleh pihak Wirata.
Begitu pun dihari ke 3 hingga hari ke
8, Pandawa Lima yang didukung kekuatan dari
Wirata beserta sekutu-sekutunya
berhasil menang secara berturut-turut. Pihak Hastina mulai frustasi karena
kekalahan beruntun itu, kemudian di pasewakan Pesanggrahan Bulupitu diadakanlah
rapat untuk mengganti pimpinan pasukan. Maka ditunjuklah seorang pertapa yang
tua renta tetapi masih gagah perkasa ialah Resi Bhisma.
Resi Bhisma adalah jago tanding yang
tepat lantaran pengalaman bertempurnya sudah cukup diakui dunia, maka
dilantiklah ia menjadi pimpinan pasukan untuk menghadapi perang hari ke 9.
Matahari mulai terbit, seluruh pasukan dari kedua belah pihak siap berperang
dan ketika sudah berkumpul maka terjadilah itu.
Wadyabala Hastina menyerbu barisan
wadyabala Wirata, mereka saling menebas pedang dan menusukkan tombaknya. Banyak
jiwa-jiwa melayang akibat kerasnya rasa sakit yang tidak tertahankan. Resi
Bhisma yang berada di dalam kereta kuda perang segera menyerang sekelompok
ksatria dari pihak Pandawa Lima.
Resi Bhisma berhadapan dengan Arjuna
yang kebetulan sama-sama menggunakan senjata panah, Arjuna tidak tega melawan
orang yang selama ini ia hormati dan ia kagumi sejak kecil. Namun, inilah
kenyataan yang harus dirasakan Arjuna sebagai cucu’ walaupun Arjuna bukan cucu
kandung mengingat Resi Bhisma tidak menikah seumur hidupnya.
Resi Bhisma mulai menantang Arjuna
agar mau menghujaninya dengan panah demi kemenangan, seolah orangtua renta itu
tidak mau bertempur melainkan disakiti sampai mati demi kemenangan para Pandawa
Lima.
Arjuna terpancing oleh ucapan Resi
Bhisma dan melepaskan anak panah yang jumlahnya ribuan hingga melukai bahu.
Resi Bhisma merasa bangga bisa dilukai oleh Arjuna. Namun, Arjuna merasa
berdosa karena sudah melukai kakeknya itu. Dari kejauhan, Resi Seta mengamati
tindakan Arjuna terhadap Resi Bhisma yang dinilai sebagai sifat seorang
pengecut.
Resi Seta lantas datang menyambar
tubuh Resi Bhisma dan melemparnya dari atas kereta perang karena begitu
jengkelnya ia terhadap reaksi Arjuna. Ternyata Resi Bhisma tidak mengalami luka
serius, maka terjadilah pertarungan antara Resi Bhisma melawan Resi Seta yang
dimenangkan oleh Resi Seta akibat luka-luka yang diderita Resi Bhisma.
Resi Bhisma tinggal gelanggang dan
kabur ke tepi Sungai Gangga untuk meminta pertolongan kepada Bathari Gangga,
ibu Resi Bhisma. Sementara itu Resi Seta bertarung dengan penuh emosi setelah
melihat seluruh wadyabala Wirata dipukul mundur.
Perang pun berjalan semakin sengit,
kali ini pindah tempat dimana beberapa putra-putra Pandawa Lima terlibat adu
fisik dengan para prajurit Hastina, Abimanyu memimpin pasukan dengan gagah
berani sambil menaiki kereta perang yang dikendalikan oleh Sumitra. Sementara
itu Irawan maju angkat senjata bersama Priyambada dan Prabakusuma melawan
barisan yang ada. Ketika para putra Pandawa sedang sibuk menghadapi pasukan
dari Hastina, dari kejauhan seluruh wadyabala denawa dari Kerajaan Guwabarong
berjalan menuju gurung Kurukasetra mengikuti perang Bharatayudha walaupun
sekedar nimbrung saja.
Wadyabala Guwabarong ikut menyerbu
pasukan yang dipimpin Abimanyu, semua orang kocar-kacir menyaksikan ulah para
denawa yang menyerang barisan. Abimanyu jengkel, segera ia menyerang kawanan
denawa itu dengan ratusan anak panah. Tidak sedikit para denawa yang tewas
ditangan Abimanyu. Pasukan denawa dari Guwabarong yang dipimpin oleh Patih
Hardawalika mulai kocar-kacir tidak beraturan.
Prabu Kalasrenggi melihat kondisi
pasukannya semakin menipis, akhirnya maju mendampingi Patih Hardawalika
memimpin pasukan sambil memperlihatkan kesaktiannya yang membuat sekelompok
prajurit bawahan Abimanyu terbunuh.
Sejenak Prabu Kalasrenggi mulai
memperhatikan seluruh manusia yang tumpah ruah diatas medan perang’ ia terpikir
untuk mencari keberadaan Arjuna untuk dimintai pertanggungan jawab atas apa
yang dialami Dewi Jatagini, ibunya.
Namun, karena ia tidak tahu siapa
Arjuna’ maka tanpa memperhatikan secara seksama raja denawa itu mulai asal
menyerang hingga targetnya tertuju pada seorang ksatria yang mendampingi
Abimanyu. Prabu Kalasrenggi menilai bahwa anak muda itulah
Arjuna yang dimaksud
Dewi Jatagini. Lalu, Prabu Kalasrenggi berhasil menyergap ksatria itu yang
ternyata adalah Irawan.
Abimanyu kaget melihat apa yang
terjadi pada Irawan, namun karena masih berurusan dengan pasukan lain maka
Abimanyu tidak sempat menyelamatkan Irawan. Prabu Kalasrenggi berhasil
menghabisi nyawa Irawan dengan menggigit lehernya sampai putus. Namun, ketika
sudah berhasil menggigit leher Irawan’ Menancaplah keris di perut Prabu
Kalasrenggi sehingga tewaslah raja denawa itu bersama korbannya.
Prabu Kalasrenggi dan Irawan mati
sampyuh, Abimanyu tidak pernah menduga bahwa akan terjadi hal semacam itu.
Lalu, untuk mengakhiri pertempuran’ Abimanyu melepas anak panah yang jumlahnya
sangat banyak. Banyak wadyabala denawa tewas ditangan Abimanyu’ sehingga Patih
Hardawalika murka melihat seluruh pasukannya dihabisi.
Belum sempat menemui Abimanyu, Patih
Hardawalika berhadapan dengan Sumitra yang menjadi kusir Abimanyu. Sehingga
terjadilah pertarungan antara Sumitra melawan Patih Hardawalika yang
dimenangkan oleh Sumitra.
Patih Hardawalika mulai terpojok dan
mundur dari peperangan, ia menganggap ini bukan waktu yang tepat untuk melanjutkan
serangan. Patih Hardawalika memilih mundur bersama seluruh pasukannya yang
masih tersisa.
Patih Hardawalika memutuskan untuk meminta bantuan sahabatnya
yakni seekor ular naga bernama Kyai Naga Kombang yang sedang bersembunyi di
hutan Setrapuru.
Pasukan dari kerajaan Guwabarong
mundur dari medan perang, meskipun memenangkan pertempuran’ Abimanyu bersedih
atas kematian Irawan yang terlalu cepat.
Kemudian Abimanyu memerintahkan
seluruh pasukannya kembali ke pesanggrahan Gupalawiya untuk menyembuhkan luka-luka.
Jasad Irawan dan Prabu Kalasrenggi
masih tergeletak di medan tempur, anehnya jasad Irawan mengeluarkan harum
semerbak yang luar biasa’ itu artinya Irawan gugur sebagai pahlawan bangsa demi
mencita-citakan kemerdekaan bagi negara Amarta.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar