4/23/2018

Seri Bharatayudha - Irawan Gugur (PART 02)

Gambar : Raden Abimanyu putra Raden Arjuna dengan Dewi Sumbadra

Irawan berkumpul dengan beberapa putra-putra Pandawa Lima, Irawan langsung menyatu dengan mereka. Irawan berbaris mengikuti intruksi pimpinan. Waktu itu yang memimpin latihan adalah Patih Nirbita dari Wirata, Patih Tambakganggeng dari Amarta, Patih Udawa dari Dwaraka, Patih Drestaketu dari Panchala, Patih Gagakbongkol dari Jodhipati dan Patih Sucitra dari Madukara.
Irawan berlatih dengan giat mengikuti apa yang dicontohkan para Patih, sebab persiapan perang harus matang agar memperoleh kemenangan. Irawan optimis bahwa pihak negeri Wirata akan memenangkan pertempuran walaupun jumlah prajurit yang relatif sedikit.

Setelah berlatih, Irawan berbincang-bincang dengan putra-putra Pandawa Lima yang lain. Irawan berbincang dengan Abimanyu yang merupakan kakak sulungnya. Irawan berharap bisa menjadi senopati pengampit mendampingi Abimanyu.
Abimanyu sendiri kurang begitu yakin dengan Irawan, karena Abimanyu menilai ilmu kanuragan Irawan belum setingkat dengannya. Irawan dengan jumawa bahwa dirinya sebagai cucu seorang brahmana diyakini mampu menjadi senopati tangguh.

Hari pun berganti menjadi senja, dimana seluruh punggawa masuk ke dalam tempat istirahatnya masing-masing. Irawan yang sudah lelah dengan rangkaian latihan fisik akhirnya memutuskan untuk tidur bersama para putra Pandawa Lima lain. Ketika para putra Pandawa Lima sudah tertidur, cerita berganti ke ruang perkumpulan dimana para Pandawa dan Prabu Matswapati bermusyawarah mengenai penunjukkan senopati agung untuk memimpin pertempuran esok.

Prabu Kresna sebagai pembina pihak Pandawa Lima mengatakan bahwa untuk menghadapi pertempuran esok hari yang menjadi pimpinan pasukan adalah Utara dan Wratsangka. Mengingat Resi Seta tidak boleh diganggu karena sedang bertapa untuk meningkatkan kekuatan fisiknya di pertapaan Parianom. Semua setuju dengan usulan Prabu Kresna. Maka esok terjadilah pertempuran di hari pertama antara pasukan dari Wirata yang memihak para Pandawa Lima melawan pasukan dari Hastina yang memihak para Kurawa.
Utara dan Wratsangka memimpin pasukan dengan gagah berani, sambil mengendarai kuda mereka mengobrak-abrik pertahanan musuh tanpa kompromi, Namun, saat sedang sibuk menghabisi para prajurit kecil yang hanya membawa tombak dan tameng’ Utara dihadang oleh Begawan Durna sehingga terjadi pertarungan diantara keduanya.

Utara tidak bisa mengalahkan Begawan Durna yang merupakan guru dari para Pandawa Lima dan seratus Kurawa, kesaktian pertapa yang lahir di negara Atasangin itu bukanlah tandingan Utara. Maka dengan mudahnya Begawan Durna mengalahkan Utara hanya dengan melepas anak panah neraca bala. Utara gugur terkena hujan anak panah yang dilepas oleh Begawan Durna, kemudian Begawan Durna dilabrak oleh Wratsangka sehingga mundur gelanggang.
Namun, Prabu Salya datang menggantikan Begawan Durna untuk melawan kedigdayaan Wratsangka yang sedang marah melihat saudaranya gugur. Prabu Salya dengan penuh perhitungan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Wratsangka, lalu dengan cekatan Prabu Salya mencengkram tubuh Wratsangka dan membantingnya jatuh. Termakan emosi Wratsangka mengambil sebilah pedang untuk menyayat tubuh Prabu Salya” sayangnya keburu terhunus keris yang dilempar oleh Prabu Salya maka gugurlah ia.

Utara dan Wratsangka gugur, akhirnya pada hari pertama Bharatayudha’ pihak Pandawa Lima kalah karena kedua pimpinannya tewas. Akhirnya dari pihak yang kalah memutuskan untuk mencari pimpinan baru” rupanya atas apa yang diramalkan buku kitab Jitabsara bahwa pengganti Utara dan Wratsangka adalah Resi Seta sendiri.
Kemudian diutuslah Patih Nirbita menemui Resi Seta yang sedang bertapa di pertapaan Parianom, sesampainya disana Patih Nirbita mengabarkan bahwa Utara dan Wratsangka sudah gugur. Mendengar berita itu, Resi Seta bertekad mencari siapa pembunuh kedua adiknya itu.
Lantas, Patih Nirbita berhasil memboyong Resi Seta untuk bergabung dengan pasukan Wirata sebagai pimpinan pasukan tempur. Malam itu, Prabu Kresna melantik Resi Seta sebagai pimpinan, sedangkan yang menjadi pengampitnya adalah Arjuna dan Werkudara.

Perang hari kedua dimulai, lagi-lagi pasukan dari pihak Kurawa menurunkan duo petarung handalnya ialah Begawan Durna dan Prabu Salya. Mereka berdua sudah tahu betul karakter dan kekuatan pasukan dari pihak Wirata. Tetapi kali ini justru pihak Pandawa Lima yang didukung dari Wirata lah yang mendominasi serangan. Semua ini karena siasat tempur yang ampuh berkat kehadiran Resi Seta sebagai pimpinan baru menggantikan Utara dan Wratsangka. Begawan Durna mulai khawatir dengan menipisnya jumlah wadyabala Hastina, kemudian seluruh prajurit Hastina tinggal gelanggang dan pertempuran hari kedua dimenangkan oleh pihak Wirata.

Begitu pun dihari ke 3 hingga hari ke 8, Pandawa Lima yang didukung kekuatan dari 
Wirata beserta sekutu-sekutunya berhasil menang secara berturut-turut. Pihak Hastina mulai frustasi karena kekalahan beruntun itu, kemudian di pasewakan Pesanggrahan Bulupitu diadakanlah rapat untuk mengganti pimpinan pasukan. Maka ditunjuklah seorang pertapa yang tua renta tetapi masih gagah perkasa ialah Resi Bhisma.

Resi Bhisma adalah jago tanding yang tepat lantaran pengalaman bertempurnya sudah cukup diakui dunia, maka dilantiklah ia menjadi pimpinan pasukan untuk menghadapi perang hari ke 9. Matahari mulai terbit, seluruh pasukan dari kedua belah pihak siap berperang dan ketika sudah berkumpul maka terjadilah itu.
Wadyabala Hastina menyerbu barisan wadyabala Wirata, mereka saling menebas pedang dan menusukkan tombaknya. Banyak jiwa-jiwa melayang akibat kerasnya rasa sakit yang tidak tertahankan. Resi Bhisma yang berada di dalam kereta kuda perang segera menyerang sekelompok ksatria dari pihak Pandawa Lima.


Resi Bhisma berhadapan dengan Arjuna yang kebetulan sama-sama menggunakan senjata panah, Arjuna tidak tega melawan orang yang selama ini ia hormati dan ia kagumi sejak kecil. Namun, inilah kenyataan yang harus dirasakan Arjuna sebagai cucu’ walaupun Arjuna bukan cucu kandung mengingat Resi Bhisma tidak menikah seumur hidupnya.
Resi Bhisma mulai menantang Arjuna agar mau menghujaninya dengan panah demi kemenangan, seolah orangtua renta itu tidak mau bertempur melainkan disakiti sampai mati demi kemenangan para Pandawa Lima.
Arjuna terpancing oleh ucapan Resi Bhisma dan melepaskan anak panah yang jumlahnya ribuan hingga melukai bahu. Resi Bhisma merasa bangga bisa dilukai oleh Arjuna. Namun, Arjuna merasa berdosa karena sudah melukai kakeknya itu. Dari kejauhan, Resi Seta mengamati tindakan Arjuna terhadap Resi Bhisma yang dinilai sebagai sifat seorang pengecut.

Resi Seta lantas datang menyambar tubuh Resi Bhisma dan melemparnya dari atas kereta perang karena begitu jengkelnya ia terhadap reaksi Arjuna. Ternyata Resi Bhisma tidak mengalami luka serius, maka terjadilah pertarungan antara Resi Bhisma melawan Resi Seta yang dimenangkan oleh Resi Seta akibat luka-luka yang diderita Resi Bhisma.
Resi Bhisma tinggal gelanggang dan kabur ke tepi Sungai Gangga untuk meminta pertolongan kepada Bathari Gangga, ibu Resi Bhisma. Sementara itu Resi Seta bertarung dengan penuh emosi setelah melihat seluruh wadyabala Wirata dipukul mundur.

Perang pun berjalan semakin sengit, kali ini pindah tempat dimana beberapa putra-putra Pandawa Lima terlibat adu fisik dengan para prajurit Hastina, Abimanyu memimpin pasukan dengan gagah berani sambil menaiki kereta perang yang dikendalikan oleh Sumitra. Sementara itu Irawan maju angkat senjata bersama Priyambada dan Prabakusuma melawan barisan yang ada. Ketika para putra Pandawa sedang sibuk menghadapi pasukan dari Hastina, dari kejauhan seluruh wadyabala denawa dari Kerajaan Guwabarong berjalan menuju gurung Kurukasetra mengikuti perang Bharatayudha walaupun sekedar nimbrung saja.

Wadyabala Guwabarong ikut menyerbu pasukan yang dipimpin Abimanyu, semua orang kocar-kacir menyaksikan ulah para denawa yang menyerang barisan. Abimanyu jengkel, segera ia menyerang kawanan denawa itu dengan ratusan anak panah. Tidak sedikit para denawa yang tewas ditangan Abimanyu. Pasukan denawa dari Guwabarong yang dipimpin oleh Patih Hardawalika mulai kocar-kacir tidak beraturan.



Prabu Kalasrenggi melihat kondisi pasukannya semakin menipis, akhirnya maju mendampingi Patih Hardawalika memimpin pasukan sambil memperlihatkan kesaktiannya yang membuat sekelompok prajurit bawahan Abimanyu terbunuh.
Sejenak Prabu Kalasrenggi mulai memperhatikan seluruh manusia yang tumpah ruah diatas medan perang’ ia terpikir untuk mencari keberadaan Arjuna untuk dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dialami Dewi Jatagini, ibunya.
Namun, karena ia tidak tahu siapa Arjuna’ maka tanpa memperhatikan secara seksama raja denawa itu mulai asal menyerang hingga targetnya tertuju pada seorang ksatria yang mendampingi Abimanyu. Prabu Kalasrenggi menilai bahwa anak muda itulah 

Arjuna yang dimaksud Dewi Jatagini. Lalu, Prabu Kalasrenggi berhasil menyergap ksatria itu yang ternyata adalah Irawan.
Abimanyu kaget melihat apa yang terjadi pada Irawan, namun karena masih berurusan dengan pasukan lain maka Abimanyu tidak sempat menyelamatkan Irawan. Prabu Kalasrenggi berhasil menghabisi nyawa Irawan dengan menggigit lehernya sampai putus. Namun, ketika sudah berhasil menggigit leher Irawan’ Menancaplah keris di perut Prabu Kalasrenggi sehingga tewaslah raja denawa itu bersama korbannya.

Prabu Kalasrenggi dan Irawan mati sampyuh, Abimanyu tidak pernah menduga bahwa akan terjadi hal semacam itu. Lalu, untuk mengakhiri pertempuran’ Abimanyu melepas anak panah yang jumlahnya sangat banyak. Banyak wadyabala denawa tewas ditangan Abimanyu’ sehingga Patih Hardawalika murka melihat seluruh pasukannya dihabisi.

Belum sempat menemui Abimanyu, Patih Hardawalika berhadapan dengan Sumitra yang menjadi kusir Abimanyu. Sehingga terjadilah pertarungan antara Sumitra melawan Patih Hardawalika yang dimenangkan oleh Sumitra.
Patih Hardawalika mulai terpojok dan mundur dari peperangan, ia menganggap ini bukan waktu yang tepat untuk melanjutkan serangan. Patih Hardawalika memilih mundur bersama seluruh pasukannya yang masih tersisa. 

Patih Hardawalika memutuskan untuk meminta bantuan sahabatnya yakni seekor ular naga bernama Kyai Naga Kombang yang sedang bersembunyi di hutan Setrapuru.
Pasukan dari kerajaan Guwabarong mundur dari medan perang, meskipun memenangkan pertempuran’ Abimanyu bersedih atas kematian Irawan yang terlalu cepat. 

Kemudian Abimanyu memerintahkan seluruh pasukannya kembali ke pesanggrahan Gupalawiya untuk menyembuhkan luka-luka.
Jasad Irawan dan Prabu Kalasrenggi masih tergeletak di medan tempur, anehnya jasad Irawan mengeluarkan harum semerbak yang luar biasa’ itu artinya Irawan gugur sebagai pahlawan bangsa demi mencita-citakan kemerdekaan bagi negara Amarta.

(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar