4/30/2013

Hikayat Wangsa Yadu : Pengabdian Sumantri (PART 5) TAMAT



Ketika kereta kuda yang ditumpangi Dewi Citrawati beserta Patih Kartanadi & Tumenggung Bahureksa berhenti, Sumantri turun dari kereta kuda yang ia kemudikan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ia nantikan, yakni menantang Prabu Arjuna Sasrabahu beradu ilmu jaya kawijayan di batas kota Mahespati.

Keinginan Sumantri untuk menantang raja penjelmaan Dewa Wisnu tersebut ditentang oleh Patih Kartanadi. Karena tindakan itu dianggap kurang ajar dan tidak mencerminkan rasa hormat kepada raja. Tumenggung Bahureksa pun mengatakan hal yang sama seperti Patih Kartanadi, sang tumenggung memperingatkan Sumantri agar membatalkan niatnya menantang berkelahi dengan Prabu Arjuna Sasrabahu. Tetapi memang Sumantri itu memiliki watak pemberani yang tidak ada batasnya, makanya ia selalu siap menghadapi siapapun’ entah menghadapi yang kuat maupun yang lemah. Raja maupun pangeran bahkan para Brahmana pun Sumantri tidak takut sama sekali.

Dewi Citrawati yang tahu perasaan Sumantri pun mengatakan hal yang sama, sang dewi berpendapat bahwa apa yang akan dilakukan Sumantri itu akan sia-sia belaka.
Sumantri memang sejak berhasil memenangkan turnamen beladiri di Magada beberapa waktu yang lalu, telah menduga’ jika ia bisa mengalahkan semua raja dan ksatria yang menjadi lawan tandingnya’ mengapa ia tak mengalahkan Prabu Arjuna Sasrabahu ?
Seperti halnya mengalahkan Prabu Sastra Hadimurti pada waktu itu.

Kemauan Sumantri kemudian dipenuhi dan Patih Kartanadi pun segera menuju keraton Mahespati menemui Prabu Arjuna Sasrabahu. Sesampainya di keraton, sang patih memberitahu apa yang ia sampaikan mengenai tantangan adu fisik yang diminta oleh Sumantri.

Prabu Arjuna Sasrabahu dengan tenang berkata kepada Patih Kartanadi, bahwa sang prabu akan siap menghadapi ksatria manapun yang hendak menantangnya. Maka dengan keputusan ini, terjadilah pertarungan antara Prabu Arjuna Sasrabahu melawan Sumantri yang berlangsung di batas kota Mahespati yang disaksikan jutaan mata rakyat Mahespati dari seluruh penjuru. Tidak ketinggalan, Para Dewa di kahyangan turut menyaksikan pertarungan yang dianggap paling dahsyat dan menggemparkan alam mayapada.

Dengan kereta kuda emasnya, Prabu Arjuna Sasrabahu melaju dengan cepat  membawa senjata-senjata koleksi pribadinya. Bahkan dari kejauhan, Prabu Arjuna Sasrabahu terlihat berwibawa dengan busana perangnya yang berkilauan.

Sumantri yang lama menunggu, dengan sabar mempersiapkan diri guna menghadapi pertempuran akbar tersebut. Baik Sumantri ataupun Prabu Arjuna Sasrabahu sama-sama memakai baju perang berwarna emas, senjata gandewa dengan bentuk yang sama, kereta kuda yang ditarik seekor kuda berwarna putih, dan mahkota yang sama dipakai diatas kepalanya. Kedua-duanya seolah bagai pinang dibelah dua bahkan tiada bedanya. Tapi terlihat bedanya dari kain batik yang mereka pakai, Sumantri memakai kain batik bermotif naga sedangkan Prabu Arjuna Sarabahu memakai kain batik bermotif burung merak dan mahkota yang dipakai kedua-duanya berbentuk mahkota raja.



Sampai-sampai orang yang melihat agak kebingungan membedakan antara raja mereka dengan lawannya. Sumantri akhirnya yang memulai terlebih dahulu adu fisik tersebut, dalam pertarungan itu Sumantri beradu kesaktian dari jarak jauh. Prabu Arjuna Sasrabahu pun demikian, setelah itu mereka berdua saling melepaskan anak panah.

Prabu Arjuna Sasrabahu melepas anak panah Kyai Garudasengkali, sedangkan Sumantri melepas anak panah Kyai Candrasara. Kedua anak panah itu bertabrakan dan mengeluarkan kekuatan yang luar biasa. Kyai Garudasengkali memancarkan cahaya biru, sedangkan Kyai Candrasara mengeluarkan cahaya merah. Semakin lama kekuatan dua senjata itu makin memancarkan cahayanya yang menyilaukan mata.

Akhirnya dalam adu senjata panah tersebut, 2 senjata dari kedua petarung langsung hancur yang menjadi pertanda bahwa kedua senjata itu sama-sama kuat.
Kemudian Sumantri dengan cepat melepaskan anak panah Kyai Rudrasara yang mampu mengeluarkan angina puyuh dan angina lesus jika dilepaskan. Langsung saja kedua angin prahara tersebut menghempas seluruh yang ada ditempat kejadian.

Prabu Arjuna Sasrabahu segera melepas anak panah tandingan Kyai Rudrasara, yakni anak panak Kyai Bramasta. Dengan segera kobaran api muncul dari Kyai Bramasta yang menghanguskan pepohonan di sekitar medan laga. Sumantri tak percaya bahwa setiap senjata yang ia lepaskan selalu ada tandingannya. Maka setelah melepas Kyai Rudrasara, Sumantri segera mengeluarkan jurus Aji Kalalupa, jurus tersebut merupakan jurus untuk mendatangkan ribuan prajurit raksasa dengan berbagai macam wujud.

Dengan sekejap jurus itu berhasil menghadirkan para denawa yang sengaja dipanggil Sumantri untuk menghadapi Prabu Arjuna Sasrabahu. Para denawa itu segera menyerang dimana Prabu Arjuna Sasrabahu berada. Sekali lagi, sang prabu segera merespon apa yang dilakukan Sumantri. Prabu Arjuna Sasrabahu memanggil burung raksasa yang bernama Brihawan. Kebetulan Brihawan adalah tunggangan Dewa Wisnu yang merupakan burung yang sakti dan kuat.

Segera Brihawan menyerang para denawa ciptaan Aji Kalalupa milik sumantri dan pertarungan terlihat semakin seru. Bahkan para penonton menganggap bahwa pertarungan ini akan menjadi kenangan bagi mereka yang baru pertamakali melihatnya.
Para denawa itu mengeroyok brihawan yang sedang terbang dilangit, mereka berduyun-duyun mencabuti bulu brihawan hingga habis, tetapi anehnya’ ketika bulu-bulu brihawan dicabuti berkali-kali justru bisa tumbuh lagi. Hal ini membuat para denawa tersebut kehabisan akal dan berniat mengakhiri pertarungan dengan bersatu menjadi raksasa setinggi bukit. Maka terjadilah adu fisik antara raksasa setinggi bukit yang merupakan gabungan dari para denawa melawan burung raksasa Brihawan.

Sehingga dalam pertarungan itu brihawan berhasil dipegang dan dibanting berkali-kali diatas tanah dan membuat burung itu tak mampu terbang kembali. Dan brihawan pun jatuh terluka dihadapan Prabu Arjuna Sasrabahu. Melihat hal ini, sang prabu segera menyembuhkan luka brihawan dengan Kembang Wijaya Kusuma. Dalam sekejap luka brihawan sembuh total dan kembali menghadapi perlawanan raksasa tersebut.



Brihawan kembali menyerang raksasa jelmaan aji kalalupa tersebut, dengan kepakan sayapnya yang kencang’ terciptalah angina topan yang kecepatannya lebih dahsyat dari angin lesus dan angina puyuh yang ditimbulkan dari panah Kyai Rudrasara tadi.
Lantas raksasa setinggi gunung itu tertiup angin dan ambruk diatas tanah sehingga  kembali ke wujud semula. Dan akhirnya raksasa jelmaan Aji Kalalupa tersebut lenyap dihadapan Sumantri. Sumantri pun terkejut dan tak percaya bahwa semua kesaktian yang ia miliki tak ada gunanya sama sekali setelah dicoba berkali-kali.

Sumantri yang sudah kehabisan cara segera mengeluarkan jurus rahasianya, yakni Aji Brahala Sewu yang membuatnya berubah menjadi raksasa berkepala seribu yang kedua tangannya dipersenjatai gada dan tombak. Para penonton pun ketakutan melihat wujud Sumantri yang mendadak menjadi sangat menyeramkan.

Patih Kartanadi pun tak percaya, bagaimana bisa sumantri menguasai Aji Brahala Sewu yang seharusnya hanya dimiliki oleh Prabu Arjuna Sasrabahu saja. Karena khawatir dapat menimbulkan bahaya, Patih Kartanadi segera menyuruh semua orang yang berada disitu untuk pergi. Karena hal semacam ini bisa mengakibatkan kerugian yang besar bagi siapapun yang berada disana. Prabu Arjuna Sasrabahu terdiam setelah melihat wujud Sumantri yang berubah seperti dirinya saat seperti bertarung melawan Prabu Danapati beberapa tahun yang lalu.

Sang prabu yakin, bahwa sumantri juga penitisan dewa wisnu seperti dirinya dan dilihat dari pupil matanya’ Sumantri memiliki bentuk pupil mata yang sama sepertinya.
Tidak ada jalan lain, sang prabu juga mengubah dirinya menjadi raksasa dengan Aji Brahala Sewu yang juga dipersenjatai tombak dan gada. Maka pertarungan menjadi sebuah bencana yang tidak diundang. Kedua raksasa jelmaan masing-masing petarung tersebut saling beradu pukulan dan tendangan. Pertarungan itu mengahadirkan suara petir yang menyambar. Luasnya langit biru yang cerah mendadak mendung tetapi tak turun hujan. Para Dewa memperhatikan pertarungan itu dengan seksama, dan salah satu dewa yang bernama Batara Indra, berpendapat bahwa pertarungan ini jika tidak dilerai maka akan berakibat hancurnya bumi dan seluruh alam semesta.

Kekhawatiran timbul dibenak Batara Guru selaku raja para Dewa, ia segera menyuruh para dewa turun ke bumi melerai dua manusia yang saling beradu ilmu kanuragan tersebut. Para dewa pun segera melaksanakan titah Batara Guru dan melesat menuju bumi berserta di iringi pasukan dari kahyangan.

Prabu Arjuna Sasrabahu dan Sumantri telah menunjukan kekuatan terbesar mereka kepada dunia. Sehingga seluruh dunia mengetahui kekuatan yang dimiliki manusia kekasih dewata seperti Prabu Arjuna Sasrabahu maupun Sumantri.

Satu per satu semua dewa-dewa membentuk lingkaran yang mengurung tempat dimana mereka berdua melakukan ulah yuda. Batara Indra disebelah utara, Batara Bayu disebelah selatan, Batara Brama disebelah barat dan Batara Surya berada disebelah timur.





Tujuan para dewa membentuk lingkaran adalah membuat pagar semu yang tidak bisa dilalui manusia. Karena pagar semu yang dibuat para dewa tadi bertujuan agar beberapa benda material disekitar tempat itu tidak melesat kemana-mana, sehingga tak membahayakan manusia. Pemimpin rombongan para dewa, Batara Narada dengan suara lantang memperingatkan Prabu Arjuna Sasrabahu dan Sumantri untuk menghentikan pertarungan, sang Narada berpesan supaya mereka tidak merusak seisi alam mayapada’ dan bertindak sebagai pengadil.

Namun ucapan Batara Narada tidak digubris, lalu pertarungan masih berlanjut dengan serangan-serangan yang semakin dahsyat. Mereka beradu jurus dengan kekuatan dan tenaga dalam yang tidak sedikit. Sampai-sampai para dewa yang sudah membentuk lingkaran tersebut malah terpental jauh karena hentakan kaki raksasa mereka.

Maka para dewa lari tunggang-langgang menjauh dari tempat kejadian karena takut menjadi sasaran empuk. Begitupun dengan Batara Narada, ia juga lari dan memerintahkan pasukan kahyangan mundur dan kembali ke kahyangan.

Ini membuktikan bahwa pertempuran ini adalah pertempuran terdahsyat yang pernah ada di alam mayapada. Sumantri kembali melakukan serangan dengan tangannya, namun masih bisa ditepis dan mereke saling banting dan bergulat. Kedigdayaan mereka tidak ada yang menandingi. Prabu Arjuna Sasrabahu segera menghantam bahu Sumantri dengan gada yang ia pegang di tangan kirinya. Sumantri segera membalas dengan bogem mentah yang ia hempaskan dengan limpung. Mereka semakin tidak terkendali, malah Dewi Citrawati tidak kuasa menyaksikan pertarungan sengit itu, tidak tahan dengan ulah yang sempat mengacaukan dunia, sang dewi turun dari kereta kuda dan berlari menuju tempat kejadian.

Patih Kartanadi yang melihat sang dewi lari lantas segera mengejar, tetapi sayangnya ketika sang dewi berhasil masuk kesana, Patih Kartanadi malah tak bisa masuk.
Lalu sang patih pun teringat, bahwa jika Prabu Arjuna Sasrabahu adalah titisan Wisnu,’ maka Dewi Citrawati adalah titisan Dewi Widawati.

Pertarungan masih berlangsung menegangkan, sang dewi sudah berada disana dan melihat kedua orang itu yang sedang saling cengkeram. Dengan suara yang keras, sang dewi berteriak supaya pertarungan itu terhenti dan berharap tak terulang kembali.
Luar biasanya, kedua petarung yang mendengar suara teriakan Dewi Citrawati itu malah menghentikan ulah yuda mereka dan kembali ke wujud seperti semula.

Dengan meneteskan air mata, sang dewi melerai pertarungan itu dan membuka mata hati keduanya yang dibakar amarah. Baik sang Arjuna Sasrabahu maupun Sumantri, keduanya memperhatikan raut wajah Dewi Citrawati yang berlinang air mata. Seakan menjadi pemecah suasana yang kala itu cukup mencekam.

 Dewi Citrawati segera berkata bahwa pertarungan itu tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan dengan sedikit menyindir dan membentak’ kedua orang yang tadi bertarung itu dimaki-maki sang dewi dan dibilang seperti anak kecil yang berebut mainan saja.

Sang prabu yang tersadar lantas segera meminta maaf kepada Dewi Citrawati, begitupun dengan Sumantri yang telah mengkhianati janjinya’ yang katanya ingin menyerahkan Dewi Citrawati kepada Prabu Arjuna Sasrabahu justru malah ingin diperistri sendiri.
Kemudian Sumantri akhirnya meminta maaf dengan bersujud dihadapan kaki Prabu Arjuna Sasrabahu. Sambil mengakui penyesalannya, Sumantri berjanji untuk tidak berkhianat kepada sang prabu dan tidak meremehkan orang lain walaupun kedudukannya berada diatas bahkan dibawahnya.

Pengakuan sumantri tersebut membuat hati sang prabu tersentuh dan bersedia memberi maaf kepada satria dari Ardisekar tersebut. Sumantri pun bangkit dan melakukan sembah terhadap Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati yang memang pantas menjadi pasangan suami istri. Lalu mereka berjalan bersama dan kembali menuju perbatasan, disana Patih Kartanadi dan Tumenggung Bahureksa telah lama menunggu kehadiran mereka. Dan setelah pertarungan itu berakhir, keesokan harinya’ Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrwati melangsungkan pernikahan. Dihadapan para brahmana’ mereka berikrar untuk saling setia hingga akhir hayat. Para tamu yang hadir turut menyaksikan pernikahan dua insan yang telah dipersatukan takdir itu.

Lalu mereka pun hidup bahagia dan rukun, sementara itu Sumantri diangkat sebagai Panglima Perang dan Senapati Agung. Dengan inilah dimulailah pengabdian sesungguhnya bagi si bocah gunung Sumantri dalam menata dan membenahi negeri Mahespati yang dipimpin raja titisan wisnu, Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati sebagai permasurinya. Negeri itu juga dipimpin oleh seorang patih yang bernama Kartanadi dan Tumenggung Bahureksa yang dinobatkan sebagai menteri. Tidak ketinggalan pula Sumantri yang menjadi pemimpin angkatan perang Mahespati sebagai Panglima Perang yang disegani dan dihormati, baik di negeri Mahespati sendiri maupun di negeri lainnya.

( THE END )





Tidak ada komentar:

Posting Komentar