Ketika kereta kuda yang ditumpangi Dewi Citrawati beserta
Patih Kartanadi & Tumenggung Bahureksa berhenti, Sumantri turun dari kereta
kuda yang ia kemudikan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ia nantikan,
yakni menantang Prabu Arjuna Sasrabahu beradu ilmu jaya kawijayan di batas kota
Mahespati.
Keinginan Sumantri untuk menantang raja penjelmaan Dewa
Wisnu tersebut ditentang oleh Patih Kartanadi. Karena tindakan itu dianggap
kurang ajar dan tidak mencerminkan rasa hormat kepada raja. Tumenggung Bahureksa
pun mengatakan hal yang sama seperti Patih Kartanadi, sang tumenggung
memperingatkan Sumantri agar membatalkan niatnya menantang berkelahi dengan
Prabu Arjuna Sasrabahu. Tetapi memang Sumantri itu memiliki watak pemberani
yang tidak ada batasnya, makanya ia selalu siap menghadapi siapapun’ entah
menghadapi yang kuat maupun yang lemah. Raja maupun pangeran bahkan para
Brahmana pun Sumantri tidak takut sama sekali.
Dewi Citrawati yang tahu perasaan Sumantri pun mengatakan
hal yang sama, sang dewi berpendapat bahwa apa yang akan dilakukan Sumantri itu
akan sia-sia belaka.
Sumantri memang sejak berhasil memenangkan turnamen beladiri
di Magada beberapa waktu yang lalu, telah menduga’ jika ia bisa mengalahkan
semua raja dan ksatria yang menjadi lawan tandingnya’ mengapa ia tak
mengalahkan Prabu Arjuna Sasrabahu ?
Seperti halnya mengalahkan Prabu Sastra Hadimurti pada waktu
itu.
Kemauan Sumantri kemudian dipenuhi dan Patih Kartanadi pun
segera menuju keraton Mahespati menemui Prabu Arjuna Sasrabahu. Sesampainya di
keraton, sang patih memberitahu apa yang ia sampaikan mengenai tantangan adu
fisik yang diminta oleh Sumantri.
Prabu Arjuna Sasrabahu dengan tenang berkata kepada Patih
Kartanadi, bahwa sang prabu akan siap menghadapi ksatria manapun yang hendak
menantangnya. Maka dengan keputusan ini, terjadilah pertarungan antara Prabu
Arjuna Sasrabahu melawan Sumantri yang berlangsung di batas kota Mahespati yang disaksikan jutaan mata
rakyat Mahespati dari seluruh penjuru. Tidak ketinggalan, Para Dewa di
kahyangan turut menyaksikan pertarungan yang dianggap paling dahsyat dan
menggemparkan alam mayapada.
Dengan kereta kuda emasnya, Prabu Arjuna Sasrabahu melaju
dengan cepat membawa senjata-senjata
koleksi pribadinya. Bahkan dari kejauhan, Prabu Arjuna Sasrabahu terlihat
berwibawa dengan busana perangnya yang berkilauan.
Sumantri yang lama menunggu, dengan sabar mempersiapkan diri
guna menghadapi pertempuran akbar tersebut. Baik Sumantri ataupun Prabu Arjuna
Sasrabahu sama-sama memakai baju perang berwarna emas, senjata gandewa dengan
bentuk yang sama, kereta kuda yang ditarik seekor kuda berwarna putih, dan
mahkota yang sama dipakai diatas kepalanya. Kedua-duanya seolah bagai pinang
dibelah dua bahkan tiada bedanya. Tapi terlihat bedanya dari kain batik yang
mereka pakai, Sumantri memakai kain batik bermotif naga sedangkan Prabu Arjuna
Sarabahu memakai kain batik bermotif burung merak dan mahkota yang dipakai
kedua-duanya berbentuk mahkota raja.
Sampai-sampai orang yang melihat agak kebingungan membedakan
antara raja mereka dengan lawannya. Sumantri akhirnya yang memulai terlebih
dahulu adu fisik tersebut, dalam pertarungan itu Sumantri beradu kesaktian dari
jarak jauh. Prabu Arjuna Sasrabahu pun demikian, setelah itu mereka berdua
saling melepaskan anak panah.
Prabu Arjuna Sasrabahu melepas anak panah Kyai
Garudasengkali, sedangkan Sumantri melepas anak panah Kyai Candrasara. Kedua
anak panah itu bertabrakan dan mengeluarkan kekuatan yang luar biasa. Kyai
Garudasengkali memancarkan cahaya biru, sedangkan Kyai Candrasara mengeluarkan
cahaya merah. Semakin lama kekuatan dua senjata itu makin memancarkan cahayanya
yang menyilaukan mata.
Akhirnya dalam adu senjata panah tersebut, 2 senjata dari
kedua petarung langsung hancur yang menjadi pertanda bahwa kedua senjata itu
sama-sama kuat.
Kemudian Sumantri dengan cepat melepaskan anak panah Kyai
Rudrasara yang mampu mengeluarkan angina puyuh dan angina lesus jika
dilepaskan. Langsung saja kedua angin prahara tersebut menghempas seluruh yang
ada ditempat kejadian.
Prabu Arjuna Sasrabahu segera melepas anak panah tandingan
Kyai Rudrasara, yakni anak panak Kyai Bramasta. Dengan segera kobaran api
muncul dari Kyai Bramasta yang menghanguskan pepohonan di sekitar medan laga. Sumantri tak
percaya bahwa setiap senjata yang ia lepaskan selalu ada tandingannya. Maka
setelah melepas Kyai Rudrasara, Sumantri segera mengeluarkan jurus Aji
Kalalupa, jurus tersebut merupakan jurus untuk mendatangkan ribuan prajurit
raksasa dengan berbagai macam wujud.
Dengan sekejap jurus itu berhasil menghadirkan para denawa
yang sengaja dipanggil Sumantri untuk menghadapi Prabu Arjuna Sasrabahu. Para denawa itu segera menyerang dimana Prabu Arjuna
Sasrabahu berada. Sekali lagi, sang prabu segera merespon apa yang dilakukan
Sumantri. Prabu Arjuna Sasrabahu memanggil burung raksasa yang bernama
Brihawan. Kebetulan Brihawan adalah tunggangan Dewa Wisnu yang merupakan burung
yang sakti dan kuat.
Segera Brihawan menyerang para denawa ciptaan Aji Kalalupa
milik sumantri dan pertarungan terlihat semakin seru. Bahkan para penonton
menganggap bahwa pertarungan ini akan menjadi kenangan bagi mereka yang baru
pertamakali melihatnya.
Para denawa itu mengeroyok
brihawan yang sedang terbang dilangit, mereka berduyun-duyun mencabuti bulu
brihawan hingga habis, tetapi anehnya’ ketika bulu-bulu brihawan dicabuti
berkali-kali justru bisa tumbuh lagi. Hal ini membuat para denawa tersebut
kehabisan akal dan berniat mengakhiri pertarungan dengan bersatu menjadi
raksasa setinggi bukit. Maka terjadilah adu fisik antara raksasa setinggi bukit
yang merupakan gabungan dari para denawa melawan burung raksasa Brihawan.
Sehingga dalam pertarungan itu brihawan berhasil dipegang
dan dibanting berkali-kali diatas tanah dan membuat burung itu tak mampu
terbang kembali. Dan brihawan pun jatuh terluka dihadapan Prabu Arjuna
Sasrabahu. Melihat hal ini, sang prabu segera menyembuhkan luka brihawan dengan
Kembang Wijaya Kusuma. Dalam sekejap luka brihawan sembuh total dan kembali
menghadapi perlawanan raksasa tersebut.
Brihawan kembali menyerang raksasa jelmaan aji kalalupa
tersebut, dengan kepakan sayapnya yang kencang’ terciptalah angina topan yang
kecepatannya lebih dahsyat dari angin lesus dan angina puyuh yang ditimbulkan
dari panah Kyai Rudrasara tadi.
Lantas raksasa setinggi gunung itu tertiup angin dan ambruk
diatas tanah sehingga kembali ke wujud
semula. Dan akhirnya raksasa jelmaan Aji Kalalupa tersebut lenyap dihadapan
Sumantri. Sumantri pun terkejut dan tak percaya bahwa semua kesaktian yang ia
miliki tak ada gunanya sama sekali setelah dicoba berkali-kali.
Sumantri yang sudah kehabisan cara segera mengeluarkan jurus
rahasianya, yakni Aji Brahala Sewu yang membuatnya berubah menjadi raksasa
berkepala seribu yang kedua tangannya dipersenjatai gada dan tombak. Para penonton pun ketakutan melihat wujud Sumantri yang
mendadak menjadi sangat menyeramkan.
Patih Kartanadi pun tak percaya, bagaimana bisa sumantri
menguasai Aji Brahala Sewu yang seharusnya hanya dimiliki oleh Prabu Arjuna
Sasrabahu saja. Karena khawatir dapat menimbulkan bahaya, Patih Kartanadi
segera menyuruh semua orang yang berada disitu untuk pergi. Karena hal semacam
ini bisa mengakibatkan kerugian yang besar bagi siapapun yang berada disana.
Prabu Arjuna Sasrabahu terdiam setelah melihat wujud Sumantri yang berubah seperti
dirinya saat seperti bertarung melawan Prabu Danapati beberapa tahun yang lalu.
Sang prabu yakin, bahwa sumantri juga penitisan dewa wisnu
seperti dirinya dan dilihat dari pupil matanya’ Sumantri memiliki bentuk pupil
mata yang sama sepertinya.
Tidak ada jalan lain, sang prabu juga mengubah dirinya
menjadi raksasa dengan Aji Brahala Sewu yang juga dipersenjatai tombak dan
gada. Maka pertarungan menjadi sebuah bencana yang tidak diundang. Kedua
raksasa jelmaan masing-masing petarung tersebut saling beradu pukulan dan
tendangan. Pertarungan itu mengahadirkan suara petir yang menyambar. Luasnya langit
biru yang cerah mendadak mendung tetapi tak turun hujan. Para Dewa
memperhatikan pertarungan itu dengan seksama, dan salah satu dewa yang bernama
Batara Indra, berpendapat bahwa pertarungan ini jika tidak dilerai maka akan berakibat
hancurnya bumi dan seluruh alam semesta.
Kekhawatiran timbul dibenak Batara Guru selaku raja para
Dewa, ia segera menyuruh para dewa turun ke bumi melerai dua manusia yang saling
beradu ilmu kanuragan tersebut. Para dewa pun
segera melaksanakan titah Batara Guru dan melesat menuju bumi berserta di iringi
pasukan dari kahyangan.
Prabu Arjuna Sasrabahu dan Sumantri telah menunjukan
kekuatan terbesar mereka kepada dunia. Sehingga seluruh dunia mengetahui
kekuatan yang dimiliki manusia kekasih dewata seperti Prabu Arjuna Sasrabahu
maupun Sumantri.
Satu per satu semua dewa-dewa membentuk lingkaran yang
mengurung tempat dimana mereka berdua melakukan ulah yuda. Batara Indra
disebelah utara, Batara Bayu disebelah selatan, Batara Brama disebelah barat
dan Batara Surya berada disebelah timur.
Tujuan para dewa membentuk lingkaran adalah membuat pagar
semu yang tidak bisa dilalui manusia. Karena pagar semu yang dibuat para dewa
tadi bertujuan agar beberapa benda material disekitar tempat itu tidak melesat
kemana-mana, sehingga tak membahayakan manusia. Pemimpin rombongan para dewa,
Batara Narada dengan suara lantang memperingatkan Prabu Arjuna Sasrabahu dan
Sumantri untuk menghentikan pertarungan, sang Narada berpesan supaya mereka
tidak merusak seisi alam mayapada’ dan bertindak sebagai pengadil.
Namun ucapan Batara Narada tidak digubris, lalu pertarungan
masih berlanjut dengan serangan-serangan yang semakin dahsyat. Mereka beradu
jurus dengan kekuatan dan tenaga dalam yang tidak sedikit. Sampai-sampai para
dewa yang sudah membentuk lingkaran tersebut malah terpental jauh karena
hentakan kaki raksasa mereka.
Maka para dewa lari tunggang-langgang menjauh dari tempat
kejadian karena takut menjadi sasaran empuk. Begitupun dengan Batara Narada, ia
juga lari dan memerintahkan pasukan kahyangan mundur dan kembali ke kahyangan.
Ini membuktikan bahwa pertempuran ini adalah pertempuran
terdahsyat yang pernah ada di alam mayapada. Sumantri kembali melakukan
serangan dengan tangannya, namun masih bisa ditepis dan mereke saling banting
dan bergulat. Kedigdayaan mereka tidak ada yang menandingi. Prabu Arjuna
Sasrabahu segera menghantam bahu Sumantri dengan gada yang ia pegang di tangan
kirinya. Sumantri segera membalas dengan bogem mentah yang ia hempaskan dengan
limpung. Mereka semakin tidak terkendali, malah Dewi Citrawati tidak kuasa
menyaksikan pertarungan sengit itu, tidak tahan dengan ulah yang sempat
mengacaukan dunia, sang dewi turun dari kereta kuda dan berlari menuju tempat
kejadian.
Patih Kartanadi yang melihat sang dewi lari lantas segera
mengejar, tetapi sayangnya ketika sang dewi berhasil masuk kesana, Patih
Kartanadi malah tak bisa masuk.
Lalu sang patih pun teringat, bahwa jika Prabu Arjuna
Sasrabahu adalah titisan Wisnu,’ maka Dewi Citrawati adalah titisan Dewi
Widawati.
Pertarungan masih berlangsung menegangkan, sang dewi sudah
berada disana dan melihat kedua orang itu yang sedang saling cengkeram. Dengan
suara yang keras, sang dewi berteriak supaya pertarungan itu terhenti dan
berharap tak terulang kembali.
Luar biasanya, kedua petarung yang mendengar suara teriakan
Dewi Citrawati itu malah menghentikan ulah yuda mereka dan kembali ke wujud
seperti semula.
Dengan meneteskan air mata, sang dewi melerai pertarungan
itu dan membuka mata hati keduanya yang dibakar amarah. Baik sang Arjuna
Sasrabahu maupun Sumantri, keduanya memperhatikan raut wajah Dewi Citrawati
yang berlinang air mata. Seakan menjadi pemecah suasana yang kala itu cukup
mencekam.
Dewi Citrawati segera berkata bahwa pertarungan itu tidak
akan menyelesaikan masalah, bahkan dengan sedikit menyindir dan membentak’
kedua orang yang tadi bertarung itu dimaki-maki sang dewi dan dibilang seperti
anak kecil yang berebut mainan saja.
Sang prabu yang tersadar lantas segera meminta maaf kepada
Dewi Citrawati, begitupun dengan Sumantri yang telah mengkhianati janjinya’
yang katanya ingin menyerahkan Dewi Citrawati kepada Prabu Arjuna Sasrabahu
justru malah ingin diperistri sendiri.
Kemudian Sumantri akhirnya meminta maaf dengan bersujud
dihadapan kaki Prabu Arjuna Sasrabahu. Sambil mengakui penyesalannya, Sumantri
berjanji untuk tidak berkhianat kepada sang prabu dan tidak meremehkan orang
lain walaupun kedudukannya berada diatas bahkan dibawahnya.
Pengakuan sumantri tersebut membuat hati sang prabu
tersentuh dan bersedia memberi maaf kepada satria dari Ardisekar tersebut.
Sumantri pun bangkit dan melakukan sembah terhadap Prabu Arjuna Sasrabahu dan
Dewi Citrawati yang memang pantas menjadi pasangan suami istri. Lalu mereka
berjalan bersama dan kembali menuju perbatasan, disana Patih Kartanadi dan
Tumenggung Bahureksa telah lama menunggu kehadiran mereka. Dan setelah
pertarungan itu berakhir, keesokan harinya’ Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi
Citrwati melangsungkan pernikahan. Dihadapan para brahmana’ mereka berikrar
untuk saling setia hingga akhir hayat. Para
tamu yang hadir turut menyaksikan pernikahan dua insan yang telah dipersatukan
takdir itu.
Lalu mereka pun hidup bahagia dan rukun, sementara itu
Sumantri diangkat sebagai Panglima Perang dan Senapati Agung. Dengan inilah
dimulailah pengabdian sesungguhnya bagi si bocah gunung Sumantri dalam menata
dan membenahi negeri Mahespati yang dipimpin raja titisan wisnu, Prabu Arjuna Sasrabahu
dan Dewi Citrawati sebagai permasurinya. Negeri itu juga dipimpin oleh seorang
patih yang bernama Kartanadi dan Tumenggung Bahureksa yang dinobatkan sebagai
menteri. Tidak ketinggalan pula Sumantri yang menjadi pemimpin angkatan perang
Mahespati sebagai Panglima Perang yang disegani dan dihormati, baik di negeri
Mahespati sendiri maupun di negeri lainnya.
( THE END )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar